Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, Profesor Universitas Islam Negeri Jakarta, dan Ahli Peneliti Utama Litbang Departemen Agama RI. (Dikutip dari buku “Pengetahuan dari Perempuan” yang diterbitkan Prodi Kajian Gender, 2010)
Penelitian-penelitian yang dilakukan para lulusan Prodi Kajian Gender menyimpulkan bahwa epistemologi konvensional, sengaja atau tidak, secara sistematis telah menghalangi kemungkinan perempuan menjadi “the knower”. Karena itu, penelitian yang dihasilkan para lulusan telah menawarkan epistemologi alternatif yang mensahkan perempuan sebagai “the knower”, mensahkan pengalaman dan pengamatan perempuan sebagai pengetahuan. Para lulusan dan hasil penelitiannya telah mampu membongkar bukan hanya segi epistemologi, melainkan juga metodologi penelitian konvensional yang tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan tidak ramah terhadap perempuan. Melalui penelitian yang mereka lakukan, pengalaman, pengetahuan, dan permasalahan perempuan menjadi fokus utama.
Tamrin Amal Tomagola, Ph.D, sosiolog dan pemerhati masalah sosial dari Universitas Indonesia. (Dikutip dari buku “Pengetahuan dari Perempuan” yang diterbitkan Prodi Kajian Gender, 2010).
Pengetahuan yang telah mereka tangguk dan timba dari khasanah Prodi ini bukan saja telah melengkapi mereka dengan perspektif peneropongan dan alat bedah konseptual studi relasi-gender, tetapi juga telah memampukan para peserta meletakkan pengalaman pahit pribadi (personal troubles) sebagai pucuk-pucuk mikro dari tatanan makro struktural yang sudah lama membatu sebagai masalah laten publik (latent-public-issues). Di atas itu semua, yang lebih menggembirakan, adalah bahwa pengetahuan yang diperoleh para lulusan Prodi ini semakin membangkitkan kepedulian mereka kepada sesama yang diwejahwantahkan baik dalam bentuk pengusungan ke tingkat gugatan konseptual berbasis empiris, maupun dalam kerja-praksis berperspektif teoritik, untuk merubah keadaan yang bukan saja telah terlalu lama memurukkan dan menghinakan perempuan tetapi juga sekaligus menistakan kemanusiaan dan kebangsaan secara keseluruhan.
Livia Iskandar Dharmawan, Dewan Pengurus Yayasan Pulih (Dikutip dari buku Perjalanan 15 Tahun Program Kajian Gender, 2005)
Perlu dibuat profil khusus tentang siapa saja lulusan Prodi Kajian Wanita (sekarang Kajian Gender) UI – pekerjaan apa yang mereka lakukan dan sejauh mana telah berjuang untuk isu-isu perempuan. Supaya member penekanan kepada UI bahwa Kajian Wanita perlu, termasuk jaringan PSW di tanah air serta mendapat dukungan paling tidak oleh 3 Kajian Wanita dari luar negeri untuk member bukti bahwa memang dibutuhkan dan relevan. Perlu ada orang yang menjadi marketing program, disosialisasikan kepada masyarakat tentang relevansi tetapi juga untuk bisa bicara tentang kenapa Prodi ini harus ada dan juga produk-produknya apa saja. Termasuk juga pengembangan, perlu si orang marketing ini membuat riset kecil untuk kebutuhan dan bagaimana Prodi Kajian Wanita bisa memberikan ini.
Henny Wirawan, Alumnus angkatan V dan Dekan Fak. Psikologi Universitas Tarumanagara
Kebijakan ‘linier’ atau monodisiplin menyebabkan pendidikan Kajian Gender di Indonesia terpinggirkan. Sebagai bagian dari program multidisiplin sesungguhnya banyak keuntungan yang bisa didapat berupa pengayaan dari berbagai sudut pandang ilmu. Namun kenyataannya ketika para lulusan kembali ke tempat kerja, perhitungan angka kumulatif untuk kenaikan pangkat fungsional tidak memperhitungkan ilmu interdisiplin yang didalat dan peraturan hanya memperhitungkan ilmu sebidang. Pengetahuan yang didapat di kajian interdisiplin dan kajian gender sangat penting untuk memperoleh kedudukan yang setara dengan program monodisiplin agar dapat mengembangkan pengetahuan akan kesimpulan konseptual baru yang kuat, serta memberikan jawaban yang lebih integratif terhadap persoalan-persoalan riel di lapangan.
Ema Rachmawati, Alumnus angkatan VIII dan bekerja di Pemda Jawa Tengah.
Saya melihat kurikulum Program Studi Kajian Wanita dari tahun ke tahun terus berkembanga sesuai dengan kebutuhan dan isu yang berkembang, bai di tingkat global, regional, nasional maupun lokal. Ilmu pengetahuan yang interdisipliner membuat kurikulum Studi Kajian Wanita kaya warna tetapi seringkali membuat peserta belajar sulit mengejar ketertinggalan karena mereka datang dari berbagai disiplin ilmu. Pada saat saya belajar, paradigma teori klasik sangat mewarnai perkuliahan sehingga saya merasa kurang pengetahuan tentang perkembangan teori-teori feminis dan gerakan-gerakannya. Hal yang saya sukai dalam proses belajar adalah kajian yang cukup mendalam dan mampu mengubah cara pandang kami tentang relasi laki-laki dan perempuan.